09/03/12

Sejauh Mana Sistem Khilafah Steril Dari Akal Pikiran Manusia?


Selama ini Hizbut Tahrir selalu mengkritik sistem saat ini adalah sistem yang rusak karena menjadikan akal manusia sebagai sentral pengambil keputusan. Nah, sejauh mana Sistem Khilafah steril dari akal pikiran manusia?

Harus kita pahami bahwa di dalam Islam menggunakan akal bukanlah sesuatu yang haram. Menggunakan akal justru diperintahkan di dalam Islam dan menjadi syarat wajib seseorang dapat beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebaliknya, seseorang yang tidak menggunakan akalnya akan sesat dari jalan-Nya.

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal," (TQS Ali Imraan [3]: 190)

"Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai qalbu (akal), tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (memikirkan) (ayat-ayat Allah)" (TQS Al-A’raf [7]: 179)

Dengan akal, kaum Muslim menemukan keimanan mereka terhadap Allah dengan keimanan 100% yang memiliki argumen. Dengan keimana yang dapat dipertanggungjawabkan. Keimanan yang lahir dari proses berpikir inilah yang pada gilirannya meyakini secara penuh pula bahwa apapun yang diputuskan Allah adalah yang terbaik bagi manusia.

Disinilah beda diameteral antara demokrasi dan Islam. Di dunia Barat, konsep keimanan dengan berpikir tidak dikenal, bahkan mereka mengklaim seharusnya seseorang tidak beragama jika dia berpikir. Hasilnya, mereka menentukan baik dan buruk, benar dan salah, indah dan jelek berdasarkan standar akal mereka. Muncullah sistem demokrasi contohnya.

Sedangkan Islam, menyandarkan segala sesuatu pada keimanan. Bahwa Allah adalah Tuhan pencipta manusia yang sudah pasti lebih mengetahui ciptaan-Nya dan lebih berhak mengatur ciptaan-Nya dibandingkan manusia yang notabene ciptaan-Nya dan sangat terbatas.

“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah, Dia menerangkan sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang terbaik.” (QS Al An’am [6]: 57)


“Maka apakah hukum jahiliyah yang mereka cari? Dan hukum siapakah yang lebih baik (hukumnya) dari pada hukum Allah bagi kaum yang yakin?” (TQS AL Maidah [5]: 50)

Secara praktis, di dalam Islam fungsi akal adalah sebagai alat untuk memahami fakta yang dihukumi, memahami hukum-hukum yang diberikan Allah, dan menghukumi fakta.

Dalam melakukan proses ini, maka tolok ukur dan sumber hukumnya telah jelas, yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma shahabat dan Qiyas (analogi). Tidak pada yang lain seperti maslahat dalam pandangan manusia, ataupun pendapat manusia.

Dari Muadz ibn Jabal ra bahwa Nabi Saw ketika mengutusnya ke Yaman, Nabi bertanya: “Bagaimana kamu jika dihadapkan permasalahan hukum? Ia berkata: “Saya berhukum dengan kitab Allah”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam kitab Allah”, ia berkata: “Saya berhukum dengan sunnah Rasulullah saw”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam sunnah Rasul saw”? ia berkata: “Saya akan berijtihad dan tidak berlebih (dalam ijtihad)”. Maka Rasul memukul ke dada Muadz dan berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah sepakat dengan utusannya (Muadz) dengan apa yang diridhai Rasulullah saw” (HR Thabrani)

Bedanya sekali lagi, di dalam Islam akal bukan sentral dari pemutusan hukum, tapi hukum Allah-lah pemutusnya. Artinya, di dalam Islam kerja akal dibatasi oleh hukum Allah, hanya dilakukan dalam koridor hukum syara’. Sedangkan di dalam demokrasi, justru hukum dibatasi oleh akal. Bahkan dalam demokrasi akal-lah yang membuat hukum.

Misalnya, sampai kapanpun seorang Muslim akan memandang seks pra-nikah adalah perbuatan haram dan termasuk hal yang buruk. Walaupun mungkin ijtihad hakim-hakim terhadap satu kasus berbeda, namun perbedaan itu berada dalam koridor yang masih diizinkan Allah. Namun tidak akan pernah terjadi suatu masa ketika kaum Muslim memandang seks pra-nikah adalah kebutuhan, sebagaimana yang terjadi sekarang pada beberapa negeri barat yang menerapkan demokrasi.

Sebagai tambahan, di dalam Islam tidak semua perkara di dalam Islam mengharuskan ijtihad. Ada perkara-perkara yang sudah jelas aturan hukumnya dari Allah, yaitu suatu perkara yang dibatasi batasan-batasannya oleh Allah (had Allah) seperti cambuk 100x pada pezina yang belum menikah, potong tangan pada pencuri dengan curian lebih dari ¼ dinar, dan lainnya. Juga termasuk perkara yang jelas hukumnya adalah perkara yang dibatasi oleh Rasulullah pelaksanaan hukumnya seperti rajam pada pezina yang telah menikah juga hukuman mati bagi pengkhianat negara.

Dalam hal-hal yang telah jelas semacam ini ijtihad tidak diperlukan. Yang diperlukan hanyalah memahami fakta yang dihukumi dan menghukumi fakta.

Kesimpulannya, bisa dikatakan bahwa Sistem Khilafah tidaklah mensterilkan peran akal dalam keputusan hukum ataupun wilayah lainnya. Lebih tepatnya, Sistem Khilafah meletakkan fungsi akal pada tempatnya. Sistem Khilafah memberi akal peran sebenarnya, bukan peran yang berlebihan sebagaimana demokrasi.

Oleh : Ustadz Felix Siauw

Tidak ada komentar:

Posting Komentar