09/03/12

Penggunaan Fasilitas Negara Untuk Kepentingan Pribadi


Banyak para pejabat negara atau pegawai negeri yang memanfaatkan (menggunakan) fasilitas yang diberikan negara (dalam hal pemanfaatannya) untuk kepentingan pribadi. Tidak jarang malah menganggapnya (atau beralih) menjadi hak milik pribadi. Bagaimana mensikapinya?

Di dalam Islam, para pejabat negara atau pegawai negeri statusnya adalah ajir (pekerja). Sedangkan musta’jir-nya adalah negara. Musta’jir adalah pihak yang mempekerjakan, dalam hal ini diwakili oleh Kepala Negara (Khalifah), para hukkam (penguasa selain Khalifah seperti, Wali/Gubernur dan Amil), dan orang-orang yang diberi otoritas oleh mereka. Oleh karena itu menyangkut hak-hak dan kewajiban-kewajiban kedua belah pihak, diatur di dalam akad ijarah. Pegawai negeri maupun pejabat negara yang tidak termasuk kategori hukkam, menerima ujrah (gaji/imbalan) atas pekerjaan yang dilakukannya.

Ujrah adalah harta yang menjadi pemilikan pribadi dari ajir, yang diperoleh dari musta’jir atas pekerjaan yang telah dilakukannya dalam periode dan syarat-syarat tertentu yang ditentukan/disepakati oleh kedua belah pihak. Selain dari ujrah atau imbalan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak (dan tidak melanggar ketentuan hukum Islam) adalah perolehan yang diharamkan. Sabda Rasulullah saw:

Barang siapa yang kami (negara) beri tugas untuk melakukan suatu pekerjaan, dan kepadanya telah kami berikan rizki (berupa ujrah dan sejenisnya), maka apa yang diambil olehnya selain (ujrah) itu adalah ghulul (kecurangan). (HR. Abu Dawud)

Hadits ini dengan tegas melarang siapa pun, baik itu kepala negara (Khalifah), Wali (Gubernur), Amil (pejabat setingkat Bupati/Walikota), qadhi (para hakim), termasuk para pegawai, untuk mengambil kelebihan (harta) dalam bentuk apapun, dari yang telah ditetapkan (berupa ujrah) atas mereka. Apabila hal itu dilanggar, dan mereka mengambil (harta) lebih dari ujrah yang menjadi hak mereka (sebagai pegawai), maka perbuatannya itu dimasukkan dalam perbuatan curang, hartanya termasuk harta ghulul (hasil kecurangan yang diharamkan), dan di hari Kiamat ia akan memikulnya sebagai azab.

Islam juga membagi kepemilikan menjadi tiga jenis, yaitu:

1.  Kepemilikan pribadi.

2.  Kepemilikan negara.

3.  Kepemilikan umum (kaum Muslim).

Seluruh bentuk kepemilikan tersebut, didalamnya terdapat hak atas pemiliknya untuk melakukan tasharruf (yakni hak untuk memanfaatkan, mengelola, dan mengembangkan harta miliknya). Setiap orang yang memiliki barang/benda mempunyai hak-hak tasharruf ini. Ia boleh menjual barang yang menjadi miliknya kepada siapa pun yang dikehendakinya, dengan harga berapapun. Ia juga boleh menghadiahkannya begitu saja, atau menginfakkannya, atau memanfaatkannya dalam bentuk lain. Semua itu dijamin di dalam hukum Islam.

Sedangkan harta milik negara, hak tasharruf-nya berada di tangan kepala negara (Khalifah). Artinya, Khalifah berhak untuk menjual, menyewakan, memberikan, mengembangkan harta milik negara kepada anggota-anggota masyarakat. Tentu saja semua itu dilakukan dalam rangka kepenitngan dan kemaslahatan Islam dan kaum Muslim. Bukan untuk kepentingan dan kemaslahatannya pribadi atau pun golongannya. Berbeda halnya dengan harta yang menjadi hak milik umum (kaum Muslim). Kepala negara (Khalifah) dalam hal ini hanya memiliki hak untuk mengelolanya saja. Khalifah tidak memiliki harta yang menjadi milik umum. Karena itu ia tidak berhak memindahtangankan kepemilikan harta yang menjadi milik umum, termasuk menyewakannya, menjualnya, memberikannya, atau mengembangkannya; kecuali atas persetujuan pemiliknya (yaitu kaum Muslim secara keseluruhan).

Benda yang dimiliki oleh seseorang hanya bisa beralih menjadi milik orang lain dengan sebab-sebab yang telah dilegislasi oleh syariat Islam. Sebab-sebab pemilikan yang tidak syar’i merupakan perbuatan yang diharamkan dan tidak sah pemilikannya ditinjau dari kacamata syariat Islam. Contohnya, pemilikan melalui pencurian, pencopetan, perampokan, termasuk ghulul (di dalamnya tercakup korupsi, suap dan sejenisnya). Secara umum, Alquran menyindirnya:

 Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang bathil. (QS. Al Baqarah: 188)

 Barangsiapa berbuat curang, pada hari Kiamat ia akan datang membawa hasil kecurangannya. Kemudian setiap orang menerima balasan setimpal atas segala yang telah dilakukannya, dan mereka tidak diperlakukan secara zhalim. (QS. Ali Imran: 161)

Dengan demikian, seorang pegawai atau pejabat negara berhak untuk memanfaatkan harta/benda yang dimilikinya (hak tasharruf), baik itu uang (gajinya), rumahnya, kendaraannya, dan sejenisnya. Ia tidak berhak melakukan pemanfaatan harta/benda milik orang lain, kecuali atas izin pemiliknya, atau telah beralih menjadi miliknya melalui sebab-sebab pemilikan yang syar’i. Begitu pula, ia tidak boleh memanfaatkan harta milik negara, kecuali diizinkan oleh pihak yang memiliki hak tasharruf (dalam hal ini Khalifah), itu pun dilakukan sebatas syarat-syarat yang diberikannya dengan mempertimbangkan kemaslahatan Islam dan kaum Muslim.

Apabila negara mengizinkan pemanfaatan kendaraan dinas, atau rumah dinas, untuk keperluan yang berkaitan dengan pekerjaannya, maka syarat tersebut tidak boleh dilampaui oleh pegawai atau pejabat negara dengan, misalnya, menjualnya, menyewakannya kepada orang lain, menghadiahkan, atau memakainya untuk keprluan pribadi/keluarganya. Tetapi, jika negara (melalui Khalifah) mengizinkan (kendaraan dinas misalnya) digunakan untuk kepentingan pribadi/keluarganya, maka hal itu juga dibolehkan. Semua itu tergantung pada keputusan Khalifah (kelapa negara) yang memiliki hak tasharruf atas harta/benda milik negara.

Kepala negara (Khalifah) tidak memiliki hak pemilikan atas harta/benda milik umum. Ia hanya diberikan otoritas untuk mengelolanya saja. Seluruh pendapatan dari harta/benda milik umum yang dikelola oleh Khalifah (negara) harus menjadi pemasukan untuk keperluan (kepentingan dan kemaslahatan) umum. Berdasarkan hal ini, kepala negara tidak berhak memberikan hak penyewaan, penjualan, atau pemberian harta/benda yang menjadi aset milik umum (kaum Muslim).

Misalnya, pertambangan (minyak, gas, sumber air/dam, emas, timah, nikel, batubara, perak, tembaga, dan sejenisnya) yang disewakan kepada swasta maupun pihak asing dengan transaksi kontrak karya. Ini adalah transaksi yang bathil. Terlebih lagi pendapatan yang diperoleh dari penyewaan atau penjualan tersebut dimasukkan dalam pos pemasukan harta milik negara dan dikeluarkan berdasarkan keputusan kepala negara. Khalifah tidak mempunyai hak tasharruf dalam harta milik umum, kecuali mengelolanya saja.

Karena itu privatisasi harta benda milik umum (kaum Muslim) yang dilakukan oleh negara kepada swasta maupun pihak asing, merupakan tindakan ghulul (curang), yang atas pelakunya akan memperoleh siksaan yang berat di akhirat. Na’udzubillahi min dzalik..



sumber:
http://keepfight.wordpress.com/2011/11/24/penggunaan-fasilitas-negara-untuk-kepentingan-pribadi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar